Pada
zaman dahulu berdirilah suatu kadipaten yang kecil dan sederhana di wilayah
Surakarta (sekarang), dulu kadipaten tersebut bernama kadipaten Sukowaten, Saat
itu terletak di perbatasan antara kasunanan Surakarta dengan Mataram Kuno.
Pada
saat itu Mataram mempunyai keinginan akan mempersatukan kadipaten–kadipaten di
sekitarnya, termasuk kadipaten Sukowaten. Tetapi, dengan cara apa saja belum
berhasil, lama-kelamaan orang-orang Mataram dengan cara berdagang,
sampai-sampai dengan cara menanam mata-mata (kurir) dan tidak berhasil
menyatukan kadipaten tersebut.
Suatu
saat Adipati Sukowaten mempunyai anak perempuan yang cantik jelita namanya
Raden Ayu Rayung Wulan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh orang-orang Mataram.
Kebetulan Raja Mataram mempunyai anak laki-laki yang tampan namanya Pangeran
Tejo Mantri. Saat itu dia disuruh mengabdi di Sukowaten kebetulan lamarannya
diterima saat itu diberi pekerjaan untuk perang (Pekatik).
Suatu
saat putri Adipati punya keinginan untuk berlatih menunggangi kuda dengan
semangat yang menggebu-gebu. Maka dikabulkan oleh sang adipati R.A. Rayung
Wulan dengan gembiranya ditunjukkan ke kandang kuda untuk memilih kudanya.
Sampai di kandang, dengan melihat sang pekatik dengan wajah berparas tampan
lagi gagah.
Disitu
mulai darah mengalir, syaraf bergetar cinta mulai berkembang. Maka mengajukan
permohonan kepada sang Adipati setiap pagi mendatangi kandang sebagai alasan untuk
bertemu sang pekatik (Pangeran Tejo Mantri). Sambil membawakan makanan dan
sebagainya supaya mereka bisa berbincang-bincang. Tetapi, sang pekatik tidak
menanggapinya karena takut. Merasa dia hanya seorang abdi mengingat wanita
tersebut anak dari adipati.
Dikarenakan
R.A. Rayung Wulan sangat mencintai sang Pangeran. Sang Pekatik juga sudah
bercerita siapa dirinya sebenarnya, tapi hal tersebut tetap dirahasiakan. Tidak
siapapun yang mengetahui kecuali Rayung Wulan. Semakin hari cintanya Rayung Wulan
terhadap sang Pekatik tidak bisa dipungkiri justru semakin menjadi-jadi.
Pada
suatu ketika sang Adipati mendengar laporan para punggawa (Prajurit) tapi tidak
dihiraukan karena ia belum melihat semata-mata. Apabila Rayung Wulan ditanya
oleh sang Adipati, mereka tidak ada hubungan apa-apa hanya sebatas berlatih
kuda.
Pada
suatu saat sang Adipati berkunjung ke kandang kuda untuk memberi tugas kepada
pelatih. Ternyata sampai di kandang, melihat putrinya sedang duduk bercumbu
rayu bersama pelatihnya, maka sang Adipati mendekatinya dengan marah dan
terjadilah adu mulut bersama putrinya. Lalu sang pelatih diusir pergi dari
kadipaten Sukowaten.
Sang
pekatik tidak berpikir panjang langsung pergi mengembara tanpa tujuan dan
berjanji dalam hati tidak akan pulang ke Mataram sebelum mendapatkan cintanya
Rayung Wulan. Sebaliknya Rayung Wulan tidak menikah dengan siapa saja kalau
tidak dengan sang Pangeran Tejo Mantri (Pekatik).
Dengan
sangat menyesalnya terhadap tindakan sang Adipati mengusir pekatiknya, Rayung Wulan
mogok makan dan tidak mau merawat tubuhnya (bersolek) sebelum permohonannya
kepada sang Adipati dikabulkan untuk menikah dengan sang Pekatiknya.
Dengan
rasa cintanya terhadap sang kekasih, ia rela untuk pergi mengembara
meninggalkan kerajaan untuk mencari sang kekasih. Maka pergilah ia tanpa tujuan
ke barat sampailah di daerah Kedung Pucang. Dulu wilayah Kadipaten Pucang
tersebut kembar. Di situlah ia menemukan sang Resi (Pendeta) dan Rayung Wulan
berguru kepadanya.
Lama-kelamaan
ia menceritakan tentang pribadinya yang sebenarnya. Pada saat yang dirasa cukup
ilmu yang didapatkannya, ia meminta ijin pada sang Resi untuk melanjutkan
berkelana dan diarahkan oleh Sang Resi untuk menelusuri sungai yang ada di tepi
padepokan yaitu Sungai Bogowonto berjalan ke arah Selatan. Ia menemukan suatu
kedung dan sampai sekarang diberi nama Kedung Putri.
Ia
berjalan terus ke selatan menemukan sungai yang berbelok. Bila suatu saat
tempat tersebut diberi nama Kali Belung. Suatu ketika ia menemukan suatu kedung
dijadikanlah tempat ia bertapa. Kebetulan di pinggir sungai tumbuh pohon Purwo
bunganya sangat harum lalu tempat ini diberi nama Purwogondo, dan kedungnya
Semendi.
Adapun
sang Pangeran Tejo Mantri pergi kearah barat sampai daerah Loano, tetapi disana
berjumpa dengan Sang Resi. “Kamu jangan di sini, karena aku tahu bahwa kamu
menginginkan seorang wanita yang saat ini telah mencari kekasihnya. Kamu
berguru di tempat adikku di wilayah Bagelen. Adikku bernama Ki Gemblong berada
di tepi sungai Bogowonto yang disebut Rawong.”
Disitulah
Pangeran Tejo Mantri tinggal. Sangat memilukan atas cintanya kepada Rayung Wulan,
ternyata Tuhan memberi petunjuk dan mempertemukan Pangeran dengan sang kekasih
di daerah Rawong. Asal mula dari kata Rawong adalah “Arah” (Menuju) dan “Wong”
(Orang).
Di
tempat itulah suatu pertemuan yang pertama setelah bersama-sama meninggalkan
Kadipaten Sukowaten. Tempat bertemunya mereka di wilayah Rawong yaitu disebut
Desa Purwodadi dari kata “Purwo” (Wiwitan atau yang pertama) dan “Dadi” (Wis
diarani atau yang sudah diinginkan)
Jadilah
mereka suami istri ditempat ini juga. Bilamana di kemudian hari terdapat
keselamatan, kejayaan, dan kemuliaan di desa ini diberi nama PURWODADI.
P = Pawitane (Mulainya)
U = Urip (Hidup)
R = Rukun
W = Wargane (Warganya)
O = Oleh pitulungan (Diberi bantuan atau
petunjuk)
D = Dening (Dari)
A = Allah
D = Dasar
I = Ikhlas
1 komentar:
Ralat kemawon,, nyuwun pangapunten sakderengipun....anane tembung "pekathik" iku ateges wong kang pagaweyane ngopeni jaran .... dadi mungguh pegaweyane pekathik saktemene dudu perang .... pegaweyane pekathik iku ngopeni jaran kalebu nggolekake pakane jaran, ngombeni jaran, ngguyang jaran, reresik kandhang, lsp .....mugi ndadosaken ing kawuningan ....
Posting Komentar